Cara terbaik mengobati patah hati adalah mendaki gunung, kalau sedang beruntung bisa bertemu gadis cantik yang tengah bernasib sama. Gara-gara omong kosong itu, aku terjebak dalam situasi ini.
Gadis cantik? Kuakui memang ada satu di hadapanku sekarang atau setidaknya begitulah dia terlihat, berwajah oriental dengan rambut hitam panjang yang lurus sampai ke pinggang. Gaun malam berwarna hitam yang dikenakannya, memperjelas cerah kulit putih susunya.
"Aku memahami kebingunganmu tapi bisakah kau ikut bersamaku tanpa menimbulkan keributan?" Gadis itu bertanya sambil tersenyum manis, suaranya begitu merdu di telinga.
Aku pasti segera mengiyakan sambil mengangguk berulang kali kalau saja gadis itu tidak memegang sabit hitam besar.
Sebenarnya ada satu hal lagi yang menggangguku, yaitu tubuh yang terbaring kaku di atas tanah keras, tak jauh dari tempatku berdiri. Tubuh itu amat menarik perhatianku, bukan karena posisi salah satu kakinya tampak tidak wajar melainkan karena itu tubuhku sendiri.
Aku kemudian menoleh ke atas, mengamati tebing curam. Sudah kuduga, swafoto di tepi jurang adalah ide yang bodoh.
Gadis itu memiringkan kepala, "Apakah kau mendengar ucapanku?"
"Maaf, aku mendengarmu. Hanya saja aku... kau mengerti maksudku."
"Aku paham kalau kau terkejut, semua orang bereaksi sepertimu. Awalnya pasti sulit menerimanya tapi percayalah, kujamin kau akan segera terbiasa."
"Maaf, tadi kau memintaku untuk ikut denganmu. Apakah itu artinya aku boleh menolak?"
Gadis itu tertawa kecil, "Dalam situasi ini, kau boleh memilih untuk hidup kembali."
"Benarkah? Mustahil semudah yang terdengar bukan?"
"Oh, kau cukup pintar. Menghidupkanmu mudah dan cepat, seperti menjentikan jari. Tapi setelah itu adalah bagian sulitnya..."
Gadis itu kemudian menjelaskan bahwa aku harus berjuang sendiri menghadapi rasa sakit yang hebat sampai bantuan tiba, yang mana paling cepat datang dalam dua hari.
Kalau ternyata aku tak sanggup bertahan, kami akan bertemu kembali dan waktu itu tiba, dia tidak akan bertanya lagi seperti sekarang.
Jika aku sanggup bertahan, masalah belum selesai. Setelah dua hari, kakiku yang terluka akan membusuk sehingga perlu diamputasi.
Membayangkan kehidupan sulit di masa depan membuatku mulai ragu.
"Dan satu hal lagi, kau juga akan mulai bisa melihat makhluk yang manusia sebut sebagai hantu." Gadis itu menunjuk ke satu arah, "Kira-kira seperti itu."
Aku mengalihkan pandangan dan mendapati makhluk menyerupai manusia yang hangus terbakar, dia tengah memandangi tubuhku tanpa berkedip. Aku bertambah ragu, semakin enggan menjalani hidup itu.
"Tampaknya kau sudah punya keputusan." Gadis itu mengulurkan tangan, yang baru kusadari hanya tulang belulang, "Kita akan pergi setelah kau menyalamiku."
Aku menurutinya. Ketika kami bersalaman, cahaya terang menyelimuti tanganku selama dua detik. Gadis itu tersenyum lalu menyuruhku mengikutinya.
Aku kemudian menoleh, berniat melihat tubuhku untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi tapi yang kutemukan adalah tubuhku bergetar hebat dan berjuang untuk berdiri. Melihat itu, aku segera meminta penjelasan.
"Oh, maksudmu itu? Kau memang menolak tapi selalu ada yang tak keberatan menjalani hidup yang sulit." Gadis itu menyeringai lebar, "Bukankah manusia yang mengalami kecelakaan seringkali mengaku hilang ingatan? Menurutmu mereka sungguh melupakan siapa diri mereka?"
Selesai
0 komentar:
Posting Komentar