
Hidup jangan dibawa susah, banyakin senyum saja saat menjalaninya - Pak Mul
"Sore mas, boleh saya numpang berteduh?" tanya pria renta yang sekujur tubuhnya basah kuyup.
Saat itu aku tengah duduk di teras mess, menikmati hembusan angin dingin yang datang bersama hujan deras.
Pria renta itu kurus badannya, sebelas dua belas dengan sepeda ontel ringkih di sampingnya, yang mungkin tidak kalah tua darinya. Dia menggigil hebat namun tetap memperlihatkan senyum bersahabat.
Setelah membiarkannya berteduh, aku mengambilkan handuk agar dia dapat mengeringkan tubuh. Dia berulang kali berterima kasih saat meraih handuk itu, sampai kupikir itu memecahkan rekor jumlah terima kasih yang kuterima dalam satu hari.
Handuk itu ternyata tidak banyak membantu, dia tetap menggigil hebat jadi kubuatkan satu teko teh hangat di dapur lalu disajikan bersama pisang goreng yang kubeli siang tadi.
"Nggak usah repot-repot mas, ini aja dah cukup." Pria renta itu mengangkat handuk sambil tersenyum.
Aku sedikit memaksa sebab khawatir sesuatu terjadi kalau tubuh rentanya tak sanggup menahan dingin. Dia akhirnya meminum secangkir teh namun tak menyentuh satupun pisang goreng.
Sambil menunggu hujan reda, kami berdua berkenalan dan saling bertukar cerita. Sebab itu aku mengenalnya sebagai Pak Mul, tukang jahit keliling yang juga menjadi tukang sol sepatu.
Pak Mul sering singgah di perumahan karyawan kami karena terkadang ada karyawan yang membutuhkan jasanya, terutama untuk memperbaiki sepatu. Dia bercerita banyak tentang dirinya, barangkali karena sebelumnya sedikit yang bersedia mendengarkan kisahnya.
Sejujurnya kisah hidup pria renta ini seakan diambil keluar dari sebuah novel atau film. Dia harus hidup sebatang kara di usia yang menginjak angka 70 sejak ditinggal mati istrinya beberapa tahun silam.
Pak Mul sebenarnya punya tiga anak laki-laki tapi selama dua puluh tahun merantau di Jakarta, mereka bertiga tak pernah sekalipun memberi kabar. Pak Mul tak mengetahui nasib anak-anaknya, hidup atau mati, dan tidak memiliki biaya untuk mencari mereka.
Hari semakin larut, hujan bukannya mereda justru bertambah deras. Aku kemudian mengajak Pak Mul makan malam, kuyakin dia pasti kelaparan.
"Nggak perlu repot-repot mas, kebetulan saya ada bawa bekal. Tadi sebenarnya buat makan siang tapi belum sempat dimakan." Pak Mul kembali menolak penawaranku seraya mengeluarkan bungkusan kecil dari kantong kresek hitam di sepeda ontelnya.
Pak Mul memperlihatkan isi bungkusan tersebut, ada nasi putih yang jumlahnya tak seberapa, bawang goreng yang sudah lalu serta sedikit bubuk putih yang ternyata adalah garam. Dia lalu mengeluarkan kantong plastik transparan kecil dari saku celana, isinya sebutir telur rebus.
"Hari ini saya ulang tahun, jadi makannya sedikit mewah, pakai telur." Pak Mul menyeringai lebar, tampak begitu bahagia.
Aku tidak terlalu yakin bagaimana ekspresiku detik itu, kaget pasti salah satunya.
Meskipun pernah juga merasakan tidak punya uang sepeserpun, harus hidup seadanya sampai makan nasi dengan kecap manis saja namun melihat pria yang sudah renta menjalani situasi itu, perasaanku campur aduk.
Aku kemudian ke dapur, mengeluarkan seluruh isi kulkas dan mengolahnya menjadi makanan terenak yang bisa kumasak lalu mengajak Pak Mul menyantapnya. Dia kembali menolak tapi aku bersikeras, berdalih ingin merayakan ulang tahunnya.
"Kalau Pak Mul nggak makan, nanti mubazir. Saya nggak sanggup habisin sendiri."
Mendengar itu, Pak Mul akhirnya bersedia. Dia tidak lupa menambahkan,"Semoga rezekinya, Tuhan yang membalas ya, mas."
Pak Mul makan perlahan, menikmati setiap suapan dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Sesudah mengisi perut sampai kenyang, aku bertanya padanya karena penasaran, "Apakah sehari-sehari Pak Mul makan nasi bersama garam dan bawang goreng saja?"
Pak Mul tertawa kecil, "Nggak dong, mas. Kadang diseling sama timun atau kecap manis."
Pak Mul menjelaskan kalau terkadang dia hanya mendapat satu pekerjaan dalam seminggu jadi harus amat berhemat demi bisa makan setiap hari. Pak Mul juga meminta supaya tidak dikasihani sebab walaupun sulit dimengerti, dia sudah terbiasa menjalaninya dan cukup bahagia. Setidaknya setiap hari selalu ada yang membuatnya tersenyum.
"Hidup jangan dibawa susah, banyakin senyum saja saat menjalaninya..." demikian Pak Mul berpesan.
Pertemuan ini terjadi sekitar lima atau enam tahun yang lalu, aku kembali teringat setelah menyaksikan berita tentang covid-19. Sulit membayangkan nasib orang-orang seperti Pak Mul dalam situasi sekarang, yang bahkan sebelum corona menyerang sudah berjuang mati-matian melawan pahitnya hidup.
Sejak bertemu Pak Mul, selain tidak pernah mengeluhkan lagi perihal makanan, beliau mengajarkan padaku agar hidup tidak harus dibawa susah, hadapi saja semua, dan jangan lupa untuk tetap tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar