Kamis, 27 Januari 2022

Cerpen - Rumah Murah

 

"Dulu, sekitar sepuluh tahun lalu. Di suatu malam, seorang bocah laki-laki membunuh seluruh keluarganya lalu mengakhiri hidupnya sendiri di rumah ini. Masyarakat sekitar menyakini ada setan yang merasuki bocah tersebut."

Aku memiliki beberapa pertanyaan setelah Ibas, agen properti yang seharusnya membujukku membeli rumah ini, justru seakan mencoba menakutiku. Orang lain barangkali akan langsung membalikan badan dan angkat kaki, apalagi Ibas kelihatan amat ketakutan saat menyampaikan kisah tersebut.

Aku sempat curiga dia bercerita demikian karena menginginkan rumah ini untuk dirinya sendiri. Maksudku tidak setiap hari kau bisa menemukan rumah mewah dengan harga sangat miring. Aku menepis dugaan itu karena Ibas terlihat menolak berlama-lama di rumah ini.

Meskipun ada keraguan, sulit bagiku melewatkan kesempatan ini jadi kukatakan, "Setan? Omong kosong. Aku akan mengambil rumah ini."

Ibas langsung mengangkat alis, memberikan tatapan yang seolah berkata, 'Apa kau tidak mendengarkanku tadi? Anak kecil. Membunuh keluarganya. Setan!', tapi dia juga segera mengangguk tanpa mencoba mengubah keputusanku.

Aku tidak menuduh Ibas berbohong atau membual. Selama dua puluh delapan tahun hidupku, aku juga seringkali mendengar kisah-kisah mistis dan horor tapi tidak pernah sekalipun mengalaminya sendiri atau bertemu setan.

Seminggu kemudian, aku pindahan ke rumah ini dibantu tiga teman dekatku, yang terkejut melihat kemegahannya.

"Kok kau bisa membeli rumah ini? Hasil pesugihan atau jadi simpanan?" tanya temanku.

"Kalau aku kerja lembur seumur hidup, belum tentu sanggup membeli rumah begini." sambung teman lain.

Aku menceritakan ulang kisah yang kudengar dari Ibas, senyuman di wajah ketiga temanku seketika sirna. Mereka menganggapku sudah gila karena membeli rumah yang mempunyai sejarah mengerikan tapi aku justru merasa gila kalau melewatkannya.

Sebenarnya aku berencana membuat acara syukuran kecil-kecilan tapi ketiga temanku menolak melakukannya di rumah, terutama setelah matahari terbenam jadi kami melangsungkannya di luar.

Aku kembali ke rumah sekitar tengah malam, dalam kondisi kelelahan. Aku tengah bergegas ke kamar tidur, berniat membenamkan diri di kasur ketika tiba-tiba mendengar suara, Sreekk... Sreeekk..., dari arah dapur.

Aku sempat menghentikan langkah, mencoba mendengarkan lebih jelas tapi suara itu menghilang. Entah karena kelelahan atau barangkali suara tikus, mengingat rumah ini sudah ditinggalkan selama setidaknya sepuluh tahun, aku memilih mengabaikannya.

Selain mendengar suara menyerupai gesekan di hari itu, aku mengalami beberapa hal lain di hari-hari berikutnya seperti keran kamar mandi yang terbuka sendiri, kursi di ruang tamu bergeser, pintu rumah diketuk setiap jam dua pagi, dan suara langkah kaki di langit-langit.

Awalnya kucoba mencuekannya namun lama-kelamaan mulai terlalu mengganggu sehingga kuhubungi Dimas, rekan kerjaku yang terkenal menyukai hal-hal berbau supranatural. Kupikir dia dapat memberiku saran atau seseorang untuk dihubungi.

"Kau bisa menyalakan telivisi. Selain supaya rumahmu tidak pernah benar-benar sunyi, gelombang elektromagnetik yang dilepaskannya sanggup mengusir makhluk-makhluk tak kasat mata ini."

Di luar dugaanku, saran Dimas terdengar ilmiah sehingga langsung kucoba dan ternyata bekerja dengan baik.

Sejak telivisi di ruang tamu kubiarkan menyala, suara dan pengalaman ganjil ikut menghilang.

Perlahan aku mulai melupakan pengalaman mengganggu itu sampai suatu hari aku terbangun di tengah kegelapan malam dan menemukan suara televisi yang biasanya samar-samar terdengar kini tiada.

Karena kamarku juga gelap gulita, kutebak listrik padam. Aku berencana mengabaikannya dan kembali tidur namun mendadak terdengar suara lirih yang menyerupai tangisan atau jeritan tertahan.

Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas, memaksaku meninggalkan tempat tidur dan mencari sumbernya, yang ternyata berasal dari ruang tamu. Barangkali karena mengantuk, aku menghampiri penyebab suara itu tanpa pikir panjang, sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan.

Aku ingin memberitahu semua ini ke pasangan muda yang berada di hadapanku, hanya saja mereka tak bisa mendengarku.

"Sekitar setahun yang lalu, pemilik rumah sebelumnya ditemukan meninggal dengan mata melotot di ruang tamu, dia kelihatan amat ketakutan. Masyarakat sekitar menyakini dia bertemu setan." Ibas bercerita sambil sesekali mengusap keningnya yang berkeringat dingin.

Mungkin ingin terlihat berani di depan pasangannya, pemuda itu berseru lantang, "Setan? Omong kosong. Kami akan mengambil rumah ini."

Aku kemudian melirik bocah kecil di sampingku, yang sedang menyeringai lebar karena menyadari akan mendapatkan dua mainan baru.

Selesai


Selasa, 25 Januari 2022

Cerpen - Amnesia


Cara terbaik mengobati patah hati adalah mendaki gunung, kalau sedang beruntung bisa bertemu gadis cantik yang tengah bernasib sama. Gara-gara omong kosong itu, aku terjebak dalam situasi ini.

Gadis cantik? Kuakui memang ada satu di hadapanku sekarang atau setidaknya begitulah dia terlihat, berwajah oriental dengan rambut hitam panjang yang lurus sampai ke pinggang. Gaun malam berwarna hitam yang dikenakannya, memperjelas cerah kulit putih susunya.

"Aku memahami kebingunganmu tapi bisakah kau ikut bersamaku tanpa menimbulkan keributan?" Gadis itu bertanya sambil tersenyum manis, suaranya begitu merdu di telinga.

Aku pasti segera mengiyakan sambil mengangguk berulang kali kalau saja gadis itu tidak memegang sabit hitam besar.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang menggangguku, yaitu tubuh yang terbaring kaku di atas tanah keras, tak jauh dari tempatku berdiri. Tubuh itu amat menarik perhatianku, bukan karena posisi salah satu kakinya tampak tidak wajar melainkan karena itu tubuhku sendiri.

Aku kemudian menoleh ke atas, mengamati tebing curam. Sudah kuduga, swafoto di tepi jurang adalah ide yang bodoh.

Gadis itu memiringkan kepala, "Apakah kau mendengar ucapanku?"

"Maaf, aku mendengarmu. Hanya saja aku... kau mengerti maksudku."

"Aku paham kalau kau terkejut, semua orang bereaksi sepertimu. Awalnya pasti sulit menerimanya tapi percayalah, kujamin kau akan segera terbiasa."

"Maaf, tadi kau memintaku untuk ikut denganmu. Apakah itu artinya aku boleh menolak?"

Gadis itu tertawa kecil, "Dalam situasi ini, kau boleh memilih untuk hidup kembali."

"Benarkah? Mustahil semudah yang terdengar bukan?"

"Oh, kau cukup pintar. Menghidupkanmu mudah dan cepat, seperti menjentikan jari. Tapi setelah itu adalah bagian sulitnya..."

Gadis itu kemudian menjelaskan bahwa aku harus berjuang sendiri menghadapi rasa sakit yang hebat sampai bantuan tiba, yang mana paling cepat datang dalam dua hari.

Kalau ternyata aku tak sanggup bertahan, kami akan bertemu kembali dan waktu itu tiba, dia tidak akan bertanya lagi seperti sekarang.

Jika aku sanggup bertahan, masalah belum selesai. Setelah dua hari, kakiku yang terluka akan membusuk sehingga perlu diamputasi.

Membayangkan kehidupan sulit di masa depan membuatku mulai ragu.

"Dan satu hal lagi, kau juga akan mulai bisa melihat makhluk yang manusia sebut sebagai hantu." Gadis itu menunjuk ke satu arah, "Kira-kira seperti itu."

Aku mengalihkan pandangan dan mendapati makhluk menyerupai manusia yang hangus terbakar, dia tengah memandangi tubuhku tanpa berkedip. Aku bertambah ragu, semakin enggan menjalani hidup itu.

"Tampaknya kau sudah punya keputusan." Gadis itu mengulurkan tangan, yang baru kusadari hanya tulang belulang, "Kita akan pergi setelah kau menyalamiku."

Aku menurutinya. Ketika kami bersalaman, cahaya terang menyelimuti tanganku selama dua detik. Gadis itu tersenyum lalu menyuruhku mengikutinya.

Aku kemudian menoleh, berniat melihat tubuhku untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi tapi yang kutemukan adalah tubuhku bergetar hebat dan berjuang untuk berdiri. Melihat itu, aku segera meminta penjelasan.

"Oh, maksudmu itu? Kau memang menolak tapi selalu ada yang tak keberatan menjalani hidup yang sulit." Gadis itu menyeringai lebar, "Bukankah manusia yang mengalami kecelakaan seringkali mengaku hilang ingatan? Menurutmu mereka sungguh melupakan siapa diri mereka?"


Selesai